SELAMAT DATANG

JL. MANUNGGAL VII KP. MASENG RT.01 RW.08 NO. 18 DESA WARUNGMENTENG KECAMATAN CIJERUK KABUPATEN BOGOR 16740 PROVINSI JAWA BARAT

Selasa, 02 September 2014



MAKALAH
PERADABAN ISLAM MASA UMAWIYAH TIMUR
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Dosen : Maulana, M.SI






 












Disusun Oleh   : Kelompok 2

-          Septi Andriani
-          Zahid Ali Hamdi
-          Winda karlina
-          Nani kustini
-          Kania Damayanti
-          Supahar
-          Idris Maulana




PROGRAM  STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SUKABUMI 1434 H

Jl. SIRNAGALIH NO. 74 KELURAHAN CIKONDANG KEC. CITAMIANG KOTA SUKABUMI

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-Nya kepada setiap hamba-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan Peradaban Islam masa Umawiyah Timur. Shalawat serta salam penyusun mohonkan kepada Allah SWT agar senantiasa disampaikan kepada Nabi Muhamad SAW. Yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah kepada zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Makalah ini, di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI), juga merupakan upaya pembelajaran agar lebih memahami dan menguasai materi yang sedang dipelajari dengan baik penyusunan materi didalam makalah ini juga disusun sedemikian rupa agar dapat dimengerti oleh siapa saja yang membacanya.
            Namun demikian, pemakalah menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tentu hasil makalah ini tidak mungkin luput dari kekurangan. Oleh karena itu, pemakalah berharap agar para pembaca dapat memakluminya, dan memberikan saran serta kritik yang konstruktiv demi perbaikan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.




Bogor, 19  April 2014
                                                                                                                     Penyusun




PERADABAN ISLAM MASAUMAWIYAH TIMUR
A.    Pendahuluan
Umawiyah Timur yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh keturunan Umayyah atas rintisan Mu’awiyah (661-680 M), yang berpusat di Damaskus. Ia berbeda dengan Mu’awiyah Barat yang berkedudukan di Andalusia. Daulah Umawiyah Timur merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). Fase ini bukan saja menunjukkan perubahan sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin), melainkan juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial dan peradaban. Ciri menonjol yang ditampilkan dinasti ini, antara lain pemindahan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus, kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan Bangsawan, dan ekspansi kekuasaan Islam terbentang sejak dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai kepada perbatasan Tiongkok. Dengan demikian selama periode ini telah berlangsung langkah-langkah baru untuk mengkonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan faham golongan bersama dengan elite pemerintah. Kekuasaan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis.
Dinasti Umawiyah dalam keberhasilannya melakukan ekspansi kekuasaan Islam jauh lebih besar daripada imperium Roma pada puncak kebesarannya. Keberhasilan ini diikuti pula oleh keberhasilan perjuangan bagi penyebaran syariat Islam, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan begitu, Umawiyah Timur berhasil pula mengembangkan aspek-aspek peradaban Islam yang sangat besar kontribusinya bagi Islam pada masa selanjutnya, Bagaimanakh sistem pemerintahan Islam yang diletakkan oleh para penguasa Umawiyah ini berpengaruh terhadap kemajuan peradaban Islam, akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan ini.
B.     Kelahiran Bani Umayyah
Sebutan Daulah Umayyah berasal dari nama Umayah ibn Abdi Syam Ibn Abdi Manaf, salah seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman Jahiliyah, ketinggian dan kemuliaannya seimbang dengan Hasyim bin Abdi Manaf. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau keturunan Umayyah dan keturunan Hasyim selalu berlomba dalam merebut pengaruh dan kedudukan di kalangan Quraisy. Perlombaan itu kerap kali menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah antara kedua belah pihak, baik di zaman Jahiliyah maupun di zaman Islam.
Bani Umayah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad saw berhasil menaklukkan kota Mekah (Fathu Makkah). Sepeninggal Rasulullah, Bani Umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan pengganti Rasulullah (Khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyokong pencalonan Usman secara terang-terangan, hingga akhirnya Usman dipilih. Sejak saat itu mulailah bani Umayyah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan Khalifah Umayyah. Pada masa Usman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam (Syiria) sebagai pusat kekuasaannya dikemudian hari. 
Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dari Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubernur-gubernur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Mu’awiyah gubernur Syam (Syiria) menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Mu’awiyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Mu’awiyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Mu’awiyah yaitu Amr bin ‘Ash , agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur’an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai. Ali menasehatkan pasukannya agar mereka tidak tertipu dengan tindakan itu, dan meneruskan peperangan sampai akhir, tetapi malah terjadi perpecahan di antara mereka sendiri, sehingga pada akhirnya Ali terpaksa menghentikan perang dan berjanji untuk menerima tahkim. Keputusan yang dihasilkan oleh wakil pihak Ali (Abu Musa al-Asy’ari) dan pihak Muawiyah (Amr bin Ash) membantu memperkuat kedudukan Mu’awiyah dan golongan yang mendukungnya.
Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syi’ah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Mu’awiyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij.
Kaum Khawarij selalu berusaha untuk merebut masa Islam dari pengikut Ali, Mu’awiyah, dan Amr, sebab mereka yakin bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber dari pergolakkan-pergolakkan. Tekad mereka adalah membunuh ketiga tokoh di atas. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) salah seorang Khawarij berhasil membunuh Ali di masjid Kufah, yang berarti pula mengakhiri masa pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin.
Setelah Ali meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai Khalifah. Karena melihat banyaknya perselisihan diantara sahabat-sahabatnya dan melihat pentingnya persahabatan umat, maka Hasan bin Ali melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada Mu’awiyah pada bulan Rabiul Awal 41 H yang selanjutnya tahun itu disebut Aam Jama’ah atau tahun jamaah, karena kaum Muslimin sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pimpinan mereka yaitu Mu’awiyah dari Bani Umayah.
Berangkat dari penyerahan kekuasaan Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah Bani Umayah tersebut, dalam tulisan ini akan dibahas tentang kebangkitan pemerintahan Dinasti Umayyah Timur ( Damaskus ) sebagai penguasa baru. Mulai dari sejarah berdirinya, masa pemerintahannya dengan kemajuan yang dicapai terutama dinamika Politik, sosial dan ekonomi, intelektual dan keagamaan hingga dinasti ini mengalami keruntuhan.
C.     Para Khalifah Umayyah
Wafatnya Ali adalah satu jembatan emas bagi Mu’awiyah guna mewujudkan tekadnya. Semula ada upaya Hasan bin Ali untuk menuntut balas kematian ayahnya dan ditambah usulan dari kelompok masyarakat agar Hasan bin Ali menggantikan posisi ayahnya, akan tetapi Hasan menyangsikan kemampuan diri dan kekuatan yang dimilikinya sehingga akhirnya ia bersedia mengakui Mu’awiyah sebagai khalifah dengan syarat : Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak dan bersedia menjamin keamanan serta memaafkan kesalahan mereka, pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepada Hasan dan diberikan tiap tahun, dan pemberian untuk Bani Hasyim harus lebih banyak dari pada Bani Abdi Syam. Keputusan-keputusan perjanjian perdamaian (tahkim) itu di setujui oleh Mu’awiyah sehingga pada tahun 41H Mu’awiyah memasuki kota Kuffah guna mengucapkan sumpah jabatan di hadapan dua putra Ali, yaitu Hasan dan Husein yang disaksikan oleh rakyat banyak. Dinasti ini ibukota pemerintahannya berada di Damaskus,. Selama 91 tahun, dinasti ini diperintah beberapa orang khalifah, mereka itu adalah :
1. Mu’awiyah bin Abu Sofyan 661 s/d 680
2. Yazid bin Mu’awiyah 680 s/d 683
3. Mu’awiyah bin Yazid 683 s/d 684
4. Marwan bin Hakam 684 s/d 685
5. Abdul Malik bin Marwan 685 s/d 705
6. Walid I bin Abdul Malik 705 s/d 715
7. Sulaiman bin Abdul Malik 715 s/d 717
8. Umar bin Abdul Aziz 717 s/d 720
9. Yazid bin Abdul Malik 720 s/d 724
10. Hisyam bin Abdul Malik 724 s/d 743
11. Walid II bin Yazid II 743 s/d 744
12. Yazid III 744
13. Ibrahim bin Walid II 744
14. Marwan II bin Muhammad II 744 s/d 750
Bila dilihat dari perkembangan kepemimpinan ke-14 Khalifah tersebut, maka periode Bani Umayyah dapat dibagi menjadi tiga masa: Permulaan, perkembangan/kejayaan, dan keruntuhan. Masa permulaan ditandai dengan usaha-usaha Mu’awiyah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan orientasi kekuasaan; Pembunuhan terhadap Husain bin Ali, perampasan Kota Madinah, penyerbuan Kota Makkah pada masa Yazid I, dan perselisihan diantara suku-suku Arab pada masa Muawiyah II. Bani Umayyah dan Khalifah Umawiyah secara lengkap dapat dilihat dalam bagan di bawah ini :

BANI UMAYYAH
Abu al-‘As                                                                                                      Harb
al-Hakam                     ‘Affan                                                                         Abu Soyan
                                    Usman                                                                         1. Muawiyah
                                                                                                                        2. Yazid I
4. Marwan I                                                                                                    3. Muawiyah II

Muhammad                             5. Abdul Malik                                                Abdul Azis
           
            6. Walid I        7. Sulaeman     9. Yazid II      10. Hisyam

12. Yazid II          13. Ibrahim      11. Walid                                            8. Umar II
14. Marwan II                                                             Khalifah Umawiyyah di Spanyol


D.    Sistem Pemerintahan
Pemindahan kekuasaan kepada Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi monarchi heridetis(kerajaan turun temurun), yang diperoleh tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Penggantian khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Mu’awiyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap Mu’awiyah seperti ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria selama dia menjadi gubernur di sana. Dia memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Byzatium.
Pada masa Mu’awiyah mulai diadakannya perubahan-perubahan administrasi pemeritahan, dibentuk pasukan bertombak pengawal raja, dan dibangun bagian khusus di dalam mesjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan shalat. Mu’awiyah juga memperkenalkan materai resmi untuk pengiriman memorandum yang berasal dari khalifah. Para sejarahwan mengatakan bahwa di dalam sejarah islam, Mu’awiyahlah yang pertama-tama mendirikan balai-balai pendaftaran dan menaruh perhatian atas jawatan pos, yang tidak lama kemudian berkembang menjadi suatu susunan teratur, yang menghubungkan berbagai bagian negara.
Pada masa Umawiyah dibentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu: Katib ar-Rasail, Katib al-Kharraj, Katib al-Jund, Katib asy-Syurtah dan Katib al-Qadi. Untuk mengurusi administrasi pemerintahan di daerah, diangkat seorang Amir al-Umara (Gubernur Jenderal) yang membawahi beberapa “Amir” sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat departemen pokok (diwan). Keempat departemen (kementrian) itu ialah:
1.      Kementerian Pajak Tanah (diwan al-kharraj)yang tugasnya mengawasi departemen keuangan.
2.      Kementerian Khatam (diwan al-khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan ordonansi pemerintah. Sebagaimana masa Mu’awiyah telah diperkenankan materai resmi untuk memorandum dari khalifah, maka setiap tiruan dari memorandum itu dibuat, kemudian ditembus dengan benang, disegel dengan lilin, yang akhirnya dipres dengan segel kantor.
3.      Kementerian Surat Menyurat (diwan al-Rasail), dipercayakan untuk mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
4.      Kementerian urusan perpajakan (diwan al-mustagallat)
Bahasa administrasi yang berasal dari bahasa Yunani dan Persia diubah ke dalam bahasa Arab dimulai oleh Abdul Malik pada tahun 85/704.


E.     Orientasi Kebijakan Politik dan Ekonomi
Kebijakan politik Umawiyah, selain usaha-usaha pengamanan didalam negeri yang sering dilakukan oleh saingan-saingan politiknya serta pertentangan diantara suku-suku Arab, adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Mu’awiyah, Uqbah ibn Nafi’ berhasil menguasai Tunis, dan kemudian didirikan kota Qairawan pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat kebudayaan islam. Di sebalah Timur, Mu’awiyah dapat memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah Barat dan Utara diarahkan ke Byzantium. Angkatan Laut Umawiyah yang berjumlah1.700 kapal perang dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48/688 Mu’awiyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstatinopel. Tetapi gagal setelah kehilangan banyak pasukan dan kapal perang mereka.
Ekspansi ke Timur maupun ke Barat mencapai keberhasilan yang gemilang pada zaman Walid I. Selama pemerintahannya, terdapat tiga orang pimpinan pasukan terkemuka, sebagai penakhluk: Qutaybah ibn Muslim, Muhammad ibn al-Qasim dan Musa ibn Nashir.
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh Al-Hajjaj ibn Yusuf, Gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya Qutaybah menyebrangi sungai Oxus dan dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Kemudian dia menerapkan kedudukannya di Transoxiana. Di zaman pemerintahan Walid I, Qutaybah tidak puas dengan kemenangannya atas Transoxiana. Dengan memimpin sejumlah pasukan yang besar, dia menuju ke perbatasan cina pada tahun  95/715. Di tengah-tengah perjalanan dia menerima berita tentang meninggalnya Walid I, tetapi hal itu tidak menghalangi tindakannya. Ketika mendekati negara Cina, Qutaybah mengirimkan seorang delegasi kepada Raja Cina. Setelah saling menukar, Raja Cina menyuruh agar delegasi tadi kembali kepada pemimpinnya. Qutaybah menerima uang dan mencetak materainya dengan bantuan pemuda-pemuda kerajaan. Kemudian dia menjelajahi kekuasaannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.
Muhammad bin Qasim diberi kepercayaan oleh Al-Hajjaj untuk menundukkan India. Dia menuju ke Sind pada tahun 89/708, mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian memberi nama baru Mihram. Ibn Qasim bisa memperluas kemenangannya di seluruh penjuru Sind, sehingga ia tiba di Maltan, pusat haji terkenal orang-orang India di sebelah selatan Punjab. Semenjak berhasil mengepung Brahmanabat dan setelah dia menyeberangi Bayas, Maltan menyerah kepada pasukan Ibn Al-Qasim.
Ekspansi ke Barat di zaman Walid I dilakukan oleh Musa ibn Nusyair yang berhasil menyerang Aljazair dan Maroko. Setelah dapat menundukanya, ia mengangkat Tariq ibn Ziyad sebagai wakil untuk memerintah daerah itu. Didorong oleh kemenangan-kemenangan di Afrika Utara dan karena timbulnya kerusuhan-kerusuhan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol, maka pada tahun 91/710 Musa pun mengirim Tariq bersama 1000 bala tentara, kebanyakan orang-orang Barbar, menyerbu Spanyol. Tariq mendarat di suatu tempat yang kemudian dikenal dengan Gibraltar (Jabal Tariq). Kapal-kapal untuk pendaratan itu dibeli dari Yulian, seorang bangsawan dari Ceuta.
Kira-kira 100.000 tentara Spanyol di bawah pimpinan Roderick dapat dikalahkan setelah Tariq mendapat tambahan pasukan yang dikirim Musa menjadi 12.000 orang. Dengan demikian pintu untuk menguasai Spanyol terbuka luas. Toledo, ibukota Spanyol, jatuh ke tangan pasukan muslim. Demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Malaga, Elvira dan Cordova. Cordova kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam yang dalam bahasa Arab disebut Al-Andalus (dari kata Vandals).
Setelah mendengar riwayat kemenangan Tariq di Spanyol, pada tahun 93/712 Musa dengan sejumlah pasukan Barbar dan Arab sebanyak 18.000 menuju Spanyol untuk ambil bagian. Setelah merampas Carmona, ekspansi Musa meluas sampai ke Barcelona di sebelah Timur, Narbone, Cadiz di sebelah tenggara dan Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya kesebelah selatan perancias. Akan tetapi karena ke khawatiran Walid I atas pengaruh Musa yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ia tundukkan, maka Khalifah memerintahkan untuk mengakhiri ekspansi di Eropa dan memanggil kembali Musa dan Tariq ke Damaskus. Serangan ke Prancis dilanjutkan oleh Abdurrahman al-Ghafiqi yang terbunuh oleh pasukan Charles Martel.
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat islam secara luas ituy, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah-daerah yang telah dikalahkan, bahkan mereka menjadi tuan-tuan tanah. Prinsip keuangan negara yang diberlakukan mengikuti apa yang ada pada masa Khulafa al-Rasyidin yaitu penetapan pajak tanah (Kharraj) dan paja perorangan (Jizyah) untuk setiap individu penghuni daerah-daerah yang telah dikalahkan merupakan income bagi pemerintahan Umawiyah. Hal ini mempelancar terlaksananya sistem pengajian bagi bala tentara, sehingga memberikan banyak waktu bagi orang-orang Arab untuk berdakwah. Pengajian pada mulanya diprioritaskan bagi orang-orang Arab saja, sedangkan orang-orang non Arab muslim diberi gaji dan harta rampasan perang setelah beberapa lama menjadi tentara, itupun dalam jumlah yang berbeda. Pembedaan antara orang-orang Arab dan non Arab merupakan alasan melemahnya orang-orang Arab karena keistimewaan mereka, sehingga pada masa-masa berikutnya peran kemiliteran mereka diambil alih oleh orang-orang Barbar untuk penaklukan ke sebelah barat dan orang-orang Persia untuk sebelah timur.

F.      Struktur Masyarakat dan Taliu Ikatan Persatuan
Keanggotaan masyarakatdalam pemerintahan Islam sejak zaman Nabi cenderung dibatasi pada pengertian yang berdasarkan pada keagamaan (religius). Apabila dihubungkan dengan politik yang keanggotaannya dibatasi oleh pengertian religius, maka secara garis besar masyarakat tersebut terdiri dari muslim dan non muslim.
            Orang-orang islam sebagai penduduk mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria. Kriteria pertama menjurus kepada hal-hal praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, seperti pelaksanaan ibadah shalat dan pembayaran zakat, sedangkan kriteria kedua, tampaknya berupa suatu tindakan pengabdian pada masyarakat yang sifatnya lebih personal (individual). Sebagai tambahan atas kedua kriteria ini, pada periode Umawiyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang-orang non Arab setelah menjadi muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian, masyarakat muslim pada masa Umawiyah terdiri dari dua kelompok, Arab dan Mawali.
            Adapun orang-orang non muslim yang merupakan masyarakat minoritas yang dilindungi, atau secara kolektif dikenal sebagaiahl ad-dimmah (orang-orang dzimmi), orang-orang yang dijaga keselamatannya ( al-Musta ‘min), terutama Yahudi dan Kristen. Kebiasaan melindungi orang-orang dzimmi ini bisa berjalan baik karena di kalangan orang-orang Arab pra islam terdapat satu kebiasaan untuk melindungi orang lain sebagai sikap yang dihormati. Bagaimanapun posisi mereka dalam kenyataannya selalu dianggap sebagai warga negara kelas dua, dan keberadaan mereka selalu didorong agar menjadi muslim. Tindakan kaum muslimin melalui dakwah atau politik pada akhirnya banyak membawa orang-orang dzimmi itu untuk berpindah agama krena mereka ingin tetap bertahan di negara islam. Hal ini sangat menguntungkan orang-orang islam dalam membentuk mayoritas yang lebih luas.
            Homogenitas masyarakat pada masa Umawiyah, menimbulkan ambisi para penguasa daulah ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme. Mereka membangun bangsa Arab yang besar yang sekaligus menjadi kaum muslim. Usaha-usaha yang dilakukan ke arah Arabisme itu antara lain anak-anak Arab yang lahir di daerah-daerah penaklukan diwajibkan membuat akte kelahiran pada kantor catatan kelahiran masyarakat agar keaslian mereka terjaga. Semua penduduk daerah Islam diwajibkan berbahasa Arab, dan segala peraturan negara yang berbahasa Romawi atau Persia harus disalin ke dalam bahasa Arab. Berarti bahasa resmi dari Daulah Umawiyah adalah Bahasa Arab. Akhirnya semua orang terpaksa belajar bahasa Arab, bahkan adat istiadat dan sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.

G.    Perkembangan Peradabab
1.      Arsitektur
Seni bangunan (arsitektur) pada zaman Umawiyah bertumpu pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau perbaikan kota lama telah dibangun dalam zaman Umawiyah yang diiringi pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab dengan dijiwai semangat Islam.
Damaskus yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam, adalah kota lama yang dibangun kembali pada masa Umawiyah, dan dijadikan ibukota Daulah ini. Di kota ini di dirikan gedung rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah membangun “istana hijau” di Miyata pada tahun 704 M istana itu diperbaharui oleh Walid ibn Abd al-Malik.
Pada masa Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal dengan nama “masjid Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah ibn Jarrah. Guna keperluan pembangunannya Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun berukuran 300x200 m2 dan memiliki 68 pilar dilengkapi dinding ukir yang cukup indah
Pada masjid Agung Damaskus, qubah-qubahnya bebrbentuk tapak besi kuda bulat. Pertemuan dari garis-garis ketitiknya dibayangkan oleh kaki tiang di atasnya. Di atas jalan beratap lengkung besar, disekelilingnya terdapat sahn (puncak-puncak barisan ambang pintu yang berbentuk setengah bundar). Di sekeliling masjid ini terdapat empat buah mercu yang merupakan bangunan peninggalan Yahudi, tetapi oleh orang Islam hanya diambil satu mercu saja untuk dijadikan sebagai menara tempat azan. Menara tersebut terletak di sebelah tenggara masjid. Adapun ruangan dalam dari Masjid Damaskus dihiasi dengan ukiran-ukiran indah, marmer-marmer halus (mosaics) dan pintu-pintunya dipasang memakai kaca-kaca berwarna-warni.
Salah satu kota yang baru dibangun di zaman ini adalah kota Kairawan, yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’i ketika ia menjadi gubernur di wilayah ini pada masa Muawiyah. Sebagaimana kota-kota Islam yang lain, Kairawan dibangun dengan gaya arsitektur Islam dan dilengkapi dengan berbagai gedung, masjid, taman rekreasi, pangkalan militer dan sebagainya. Kota ini kemudian menjadi kota internasional karena didalamnya berdiam bangsa-bangsa Arab, Barbar, Persia, Romawi, Qitbi dan lain-lain. Uqbah sempat membangun masjid Agung Kairawan. Pada tahun 670 oleh gubernur Hisyam ibn Adam Malik diadakan beberapa perbaikan, sehingga menjadi kebanggaan kaum muslimin di afrika Utara terutama Kubahnya yang terkenal dengan “Qubbah Bhawi”.
      Pada masa Umayyah ini juga sempat dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap masjid-madjid tua yang telah ada sejak zaman Rasulullah. Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan yang menyediakan dana 10.000 dinar mas untuk memperluas Masjid al-Haram, kemudian Walid menyempurnakan perbaikannya dengan memperhatikan estetikanya seperti membuat pintu dan jendela lengkung, berukir dan tiang-tiangnya dibuat dari batu granit.
      Begitu pula masjid Nabawi, oleh walid diperluas dan diperindah dengan konstruksi dan arsitektur Syiria di bawah pengawasan Umar ibn Abd al-Aziz, yang pada saat itu menjadi gubernur Madinah. Menurut salah sebuah sumber, dinding masjid ini dihiasi mozaik dan batu permata. Tiangnya dari batu marmer, lantainya dari batu pualam, plafonnya bertahtakan emas murni, ditambah empat buah menara.
2.      Organisasi Militer
Pada masa Umawiyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang arab atau unsur Arab. Setelah kekuasaan meluas sampai ke Afrika Utara, orang luar pun terutama bangsa Barbar turut ambil bagian dalam militer ini. Pada masa Abd al-Malik ibn Marwan diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nidam at-Tajdid al-Ijbari). Pada waktu itu aktivitas bala tentara diperlengkapi dengan kuda, baju besi, pedang dan panah.
Angkatan laut, sesungguhnya telah dirintis oleh Muawiyah sejak masa Umar tatkala ia akan melakukan penyerangan ke negeri Romawi melalui jalan Laut, kemudian pada masa Usman usahanya dilanjutkan dengan membentuk Angkatan Musim Panas dan Musim Dingin. Maka semenjak ia resmi menjadi Khalifah Umawiyah mulai diusahakan pembuatan kapal-kapal perang guna menangkis serangan Armada Byzantium serta keperluan sarana transportasi dalam usaha perluasan kekuasaan Islam ke daerah-daerah lain. Waktu itu Armada Laut Umawiyah mencapai di Raudah.
Adapun organisasi kepolisian pada mulanya merupakan bagian dari organisasi kehakiman. Tetapi kemudian bersikap independen, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Pada masa Hisyam bin abd Malik, di dalam organisasi kepolisian dibentuk Nidam al-Ahdas (Brigade Mobil) yang bertugas hampir serupa dengan tugas-tugas tentara.
3.      Perdagangan
Setelah Daulah Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik,obat-obatan dan wewangian. Adapun lalu lintas di lautan ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, anbar, kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan. Keadaan dmikian membawa ibukota basrah di teluk Persi menjadi pelabuhan dagang yang teramat ramai dan makmur, begitu pula kota Aden. Dari kedua kota pelabuhan itu iring-iringan kafilah dagang hampir tak pernah putus menuju Syam dan Mesir. Kemudian dari Syam dan Mesir kapal-kapal dagang  di bawah lindungan Armada Islam mengangkatnya lagi ke kota-kota dagang di Laut Tengah. Perkembangan perdagangan itu telah mendorong meningkatnya  kemakmuran bagi Daulah Umawiyah.
4.      Kerajinan
Pada masa khalifah Abd Malik mulai di rintis pembuatan tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang di cetak padsa pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz yang mula-mula terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (Gubernur Mesir) diganti dengan rumus Islamn, lafaz “La Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik medirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik di awasi oleh “Sahib at-Tiraz”, yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
Di bidang seni lukis, sejak Khalifah Mu’awiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di masjid-masjid, juga tumbuh di masjid. Adanya lukisan dalam istana Bani Umayyah, merupakan langkah baru yang muncul di kalangan bangsawan Arab. Sebuah lukisan yang pertama kali di torehkan  oleh Khalifah Walid I, adalah lukisan berbagai gambar binatang. Adapun corak dan warna lukisan masih bersifat Hellenisme murni, tetapi kemudian dimodifikasi menurut cara-cara Islam, sehingga sangat menarik perhatian pada penulis Eropa.
5.      Reformasi Fiskal
Selama masa pemerintahan Umawiyah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim, diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis merupakan latar belakang berkurangnya penghasilan negara. Namun demikian dengan keberhasilan Umawiyah dalam melakukan penaklukan imperium Sassani (Parsi) beserta wilayah kepunyaan imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi daulah ini melimpah-limpah yang mengalir ke dalam perbendaharaan negara.
Bagi golongan dzimmi, sebagaimana pada masa Rasul mereka tidak di perkenankan andil dalam mengangkat senjata, tetapi harus membayar upeti sebagai ganti perlindungan muslimin kepada mereka. Dalam kondisi demikian, kaum dzammi hidup dalam kemerdekaan dengan jalan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Di samping itu, memang masih ada perbedaan beban pajak antara muslim Arab dan muslim non-Arab maupun yang non muslim. Muslim Arab menikmati kelapangan-kelapangan yang istimewa dalam bidang perpajakan. Muslim Arab Cuma diwajibkan membayar pajak kekayaan beserta sumbangan wajib atas hak milik tanah, sedangkan yang lain mendapatkan beban pajak-pajak yang teramat penting. Sistem yang berbeda itu pada gilirannya menyebabkan keresahan dan ketidak-puasaan dalam lingkungan muslim non-Arab, sehingga pada gilirannya menimbulkan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan pihak Umawiyah.



H.    Penutup
Demikian kekuasaan Islam dalam kepemimpinan Bani Umayyah Timur. Meskipun berlangsung dalam pembentukan monarchi Arab dengan mengandalkan panglima-panglima Arab lapisan aristokrasi yang sesungguhnya berlawanan dengan kebijakan Nabi dan para khalifah sebelumnya, bagaimanapun ia telah memperkenalkan dan memperkembangkan lembaga-lembaga istimewa dari pemerintahan Islam. Hal demikian di dukung pula oleh sumbangan para khalifahnya terhadap pembentukan dan pengembangan peradaban Islam, sekalipun belum cukup sebanding dengan kegiatan kebudayaan yang dibangunoleh pemerintahan Islam sesudahnya, Daulah Abbasiyah, yang berhasil mengembangkan kebudayaan terbesar dalam perkembangan peradaban Islam itu. Hal ini barangkali karena selama pemerintahan Umawiyah seringkali dilanda konflik-konflik internal umat Islam yang mundul dari akibat perselisihan politik antar golongan umat Islam sendiri
.