TUGAS MAKALAH
MATERI KULIAH ILMU KALAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
KELOMPOK STUDI CIKERETEG
PROGRAM S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
Disusun Oleh : Zahid Ali Hamdi
Jalan Mayjen H.E. Sukma Km. 11 Cikereteg, Caringin - Bogor 16730
PENDAHULUAN
Menurut
Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) Ilmu Tauhid yang juga disebut Ilmu Kalam,
memberikan ta’rif sebagai berikut:
“Tauhid
ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib
tetap bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-Nya dan tentang
sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan dari pada-Nya. Juga membahas
tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib
ada pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka
dan hal-hal yang terlarang yang menghubungkan kepada diri mereka.”
Menurut
Ibnu Khaldun (1333-1406) menerangkan bahwa:
“Ilmu
kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf
dan Ahli Sunnah.”
Dalam
kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang Firqoh, lebih khususnya
adalah Firqoh Qodariyah dan Firqoh Jabariyah.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Firqoh secara garis besar
Yang perlu
dijelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan pengertian Firqoh dengan Mazhab.
Firqoh ialah
perbedaan pendapat dalam soal-soal aqidah (teologi) atau masalah-masalah ushuliyah.
Dalam islam kita kenal adanya firqoh-firqoh syi’ah, khawarij, mu’tazilah,
qadariyah, jabariyah, murji’ah dan ahlus sunnah. Dalam Kristen, misalnya
katolik dan protestan. Firqoh bisa diartikan sekte. Dalam pembahasan ini
selanjutnya dipergunakan istilah golongan.
Mazhab ialah perbedaan
pendapat masalah-masalah hukum atau furu’iyah. Dalam fiqih kita ketahui
mazhab ada 4 : a. mazhab Hanafi (pendirinya, Imam Abu Hanifah An Nu’man
Ibnu Tsabit, 70-150 H), b. mazhab Maliki (pendirinya, Imam Malik Ibnu
Anas, 90-179 H), c. mazhab Syafi’i (pendirinya, Abu Abdullah Muhammad
Ibnu Idris Ibnu Utsman Ibnu Syafi’I 150-204 H), dan d. mazhab Hambali
(pendirinya, Ahmad Ibnu Hambal Ibnu Hilal Asy Syaibani Al Bagdadi, 164-241 H). Dengan
perkataan lain firqoh mengenai masalah tauhid, sedang mazhab tentang fiqih.
B.
Pengertian Firqoh Qodariyah
Qadariyah
mula-mula timbul sekitar tahun 70 H / 689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al Juhni Al
Bisri dan Ja’ad Bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin
Marwan (685-705M).
Latar belakang
timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani
Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa
khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal ini karena sudah ditakdirkan Allah
SWT dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka firqah
Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu
adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan member pahala kepada
orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya
sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah
menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Oleh karena itu,
manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya (kholiqul af’al).
Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan
dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits) untuk memperkuat
pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia sekarang
dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik
dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal
itu adalah Allah Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari
ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan
madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli
tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat :
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاء فَلْيَكْفُرْ
“Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini,
bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi
kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan.
Ajaran-ajaran
firqoh Qodariyah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera
mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad Al Juhni dan
beberapa pengikutnya dan dia sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80H/690M).
Setelah peristiwa ini, maka pengaruh faham Qadariyah semakin surut. Akan tetapi
dengan munculnya firqoh Mu’tazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai
penjelmaan kembali dari faham-faham Qadariyah. Sebab, antara keduanya terdapat
kesamaan filsafatnya yang selanjutnya disebut dengan kaum Qadariyah
Mu’tazilah.
Sebagian
orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu
berasal dari Allah, sedangkan perbuatan manusia yang jelek itu manusia sendiri
yang membuatnya, tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah.
Sehubungan
dengan pendapat-pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya Nabi Muhammad SAW
bersabda :
“Dari Hudzaifah
r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Bagi tiap-tiap ummat ada Majusinya. Dan
Majusi ummatku ini adalah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barang
siapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kamu menshalati jenazahnya. Dan
barang siapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kamu menjenguknya.
Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan
mereka itu dengan Dajjal itu”. (HR
Abu dawud)
Mereka
dikatakan Majusi karena mereka mengatakan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan
dan keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi
atau Zaroaster adanya dewa terang, kebaikan dan siang, disebut Ahula
Mazda dan dewwa keburuka, gelap dan malam, disebut Ahriman atau Angra
Manyu.
Ma’bad Al Juhni
adalah seolah tabi’in pernah belajar kepada Washil Bin Atho’, pendiri
Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh Al-Hajjaj, Gubernur Basrah karena
ajaran-ajarannya. Gailan Ad Damasqi adalah penduduk kota Damaskus, ayahnya
seorang yang pernah bekerja pada kholifah Utsman Bin Affan. Ia datang ke
Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik (105-125). Galian
juga dihukum mati karena faham-fahamnya.
Ada pendapat
lain mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran-ajaran Qadariyah itu
bukan Ma’bad Al Juhni. Ada seorang penduduk negeri irak yang mulanya beragama
Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen lagi. Dari
orang inilah Ma’bad Al Juhni dan Gailan Ad Damasqi mengambil pemikiran. Mereka
sulit diketahui aliran-aliran. Karena mereka dalam segi tertentu mempunyai kesamaan
ajaran dengan Mu’tazilah dan dalam segi yang lain mempunya kesamaan ajaran
dengan Murji’ah, sehingga disebut juga Murji’ah Qadariyah.
Tokoh-tokohnya: Abi Syamr, Ibnu Syahib, Gailan Ad Damasqi, dan Saleh
Qubbah. Mereka ini memiliki batasan yang berbeda tentang iman.
C.
Pengertian Firqoh Jabariyah
Firqoh
Jabariyah timbulnya besamaan dengan timbulnya firqoh Qadariyah, dan tampaknya
merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan.
Firqoh Qadariyah timbul di Irak, sedangkan Firqoh Jabariyah timbul di Khurasan
Persia.
Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham
bin Sofwan. Karena itu firqah ini kadang-kadang disebut Al-Jahamiyah.
Mula-mula Jaham bin Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih
bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan
terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin
menyiarkan agama.
Kaum Jabariyah berpendapat, bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam
aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism atau predestination.
Menurut mereka, bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala
amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah,
dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya.
Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan
ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan iradat Allah adalah membekukan dan
mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakekatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik
manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan
dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia
memperoleh balasan surga dan neraka.
Pembalasan surga atau neraka itu
bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya,
dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata
sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradat-Nya.
Jaham bin Sofwan, selain penggerak
gerakan Jabariyah, juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan: “bahwa Allah
tidak diberi nama apapun, dan tidak pula diberi nama-nama lain kecuali Dia Maha
Kuasa (al-Qadir)” karena menurutnya “tidak layak Tuhan itu disifati dengan
sifat yang dipakai untuk mensifati makhluk-Nya”.
Adapun cikal bakal munculnya
perkataan ini “pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah” berasal dari
murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang
pertama kali mengucapkan perkataan ini adalah al-Ja’d bin Darhim. Kemudian
diambil dan dipopulerkan oleh Jaham bin Sofwan, sehingga paham Jahamiyah
dinisbatkan kepadanya. Al-Ja’d mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin
Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti. Dan Thalut
mengambilnya dari Lubaid bin Sam’an al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi.
Selain itu Jaham bin Sofwan juga pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu
cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran dalam hati), sekalipun tidak dinyatakan.
Hal ini tidak sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpendapat
bahwa iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lisan. Orang
Islam yang pertama kali menyatakan paham ini di dalam Islam adalah al-Ja’d bin
Darhim.
Terhadap al-Qur’an, Jaham bin Sofwan
berpendapat, bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat. Sedangkan
terhadap Allah ia berpendapat, bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin dapat
terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak. Tentang surga dan neraka,
kelak sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya dan sudah merasakan pembalasan
bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga
dan neraka itu.
Dalam pemahamannya, Jabariyah ini
melampaui batas, sehingga mengiktikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat
kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah pula. Sesatnya lagi,
mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila
orang sembahyang maka Tuhan pula yang sembahyang. Jadi kalau orang yang berbuat
buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil.
Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak satupun
terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.
Sebagian pengikut Jabariyah
beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Di sini menimbulkan faham wihdatul
wujud, yaitu bersatunya hamba dengan Dia. I’tiqad persatuan antara Khalik
dan makhluk adalah i’tiqad yang keliru, karena Tuhan tidak serupa dengan
sekalian yang ada dalam alam ini. Menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah,
manusia akan mendapatkan hukuman karena ikhtiar atau usahanya yang tidak baik
dan akan diberi paham dengan karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang baik
itu. Sesuai dengan firman-Nya :
لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya”. (QS. Al-Baqarah : 286)
Gerakan golongan ini mendapat
tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan ulama-ulama diluar Jabariyah,
yang menolak dan memberantasnya. Penolakan ini lebih-lebih ditandaskan kepada
dua soal, yaitu:
a.
Pendirian Jabariyah, bahwa manusia itu tidak mempunyai
ikhtiar sedikitpun. Ajaran dan pendirian ini tentulah akan menjadikan manusia
malas dan putus asa, tidak mau bekerja. Bahkan akan berserah diri kepada Qadar
saja. Keadaan semacam ini pasti mengakibatkan kemunduran umat Islam.
b. Terhadap takwil yang
berlebih-lebihan, mentakwilkan al-Qur’an yang mengandung sifat-sifat Allah.
Dengan takwil ini berarti membatasi memahamkan al-Qur’an dari satu jurusan
saja. Padahal makna dan tujuan al-Qur’an itu amat luas dan jauh lebih sempurna
daripada yang ditakwilkan mereka itu.
Dalam segi-segi tertentu, Jabariyah
dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga
dan neraka tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat di akhirat kelak, al-Qur’an
itu makhluk dan lain-lain. Jaham bin Sofwan mati terbunuh oleh pasukan Bani
Umayyah pada tahun 131 H.
PENUTUP
A. Analisis
Qadariyah adalah faham yang
menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia
sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dari manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Jabariyah adalah
aliran yang berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada
kehendak mutlak Tuhan.
Dari kedua faham tersebut, semuanya
adanya faham-faham yang salah mengenai manusia dan Tuhan dalam menentukan suatu
perbuatan baik buruk ataupun dosa atau tidak. Karena pada hakekatnya manusia
diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya Allah
lah yang menentukan hasilnya. Sesuai dengan ajaran-ajaran ahlussunnah wal
Jama’ah, yang menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip
yang sesuai dengan tujuan akal pikiran.
B. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan, bahwa aliran Qadariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa
manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat (kholiqul af’al),
sedangkan Jabariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa Tuhanlah yang
berkuasa dan manusia tidak mempunyai daya apapun. Dan keduanya adalah ajaran
yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar