SELAMAT DATANG

JL. MANUNGGAL VII KP. MASENG RT.01 RW.08 NO. 18 DESA WARUNGMENTENG KECAMATAN CIJERUK KABUPATEN BOGOR 16740 PROVINSI JAWA BARAT

Sabtu, 16 November 2013

MATERI KULIAH ILMU KALAM-firqoh









TUGAS MAKALAH

MATERI KULIAH ILMU KALAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
KELOMPOK STUDI CIKERETEG
PROGRAM S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)





Disusun Oleh : Zahid Ali Hamdi






Jalan Mayjen H.E. Sukma Km. 11 Cikereteg, Caringin - Bogor 16730




PENDAHULUAN


Menurut Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) Ilmu Tauhid yang juga disebut Ilmu Kalam, memberikan ta’rif sebagai berikut:

“Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan dari pada-Nya. Juga membahas tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka dan hal-hal yang terlarang yang menghubungkan kepada diri mereka.”

Menurut Ibnu Khaldun (1333-1406) menerangkan bahwa:

“Ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan Ahli Sunnah.”


Dalam kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang Firqoh, lebih khususnya adalah Firqoh Qodariyah dan Firqoh Jabariyah.



PEMBAHASAN


A.    Pengertian Firqoh secara garis besar

Yang perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan pengertian Firqoh dengan Mazhab.

Firqoh ialah perbedaan pendapat dalam soal-soal aqidah (teologi) atau masalah-masalah ushuliyah. Dalam islam kita kenal adanya firqoh-firqoh syi’ah, khawarij, mu’tazilah, qadariyah, jabariyah, murji’ah dan ahlus sunnah. Dalam Kristen, misalnya katolik dan protestan. Firqoh bisa diartikan sekte. Dalam pembahasan ini selanjutnya dipergunakan istilah golongan.

Mazhab ialah perbedaan pendapat masalah-masalah hukum atau furu’iyah. Dalam fiqih kita ketahui mazhab ada 4 : a. mazhab Hanafi (pendirinya, Imam Abu Hanifah An Nu’man Ibnu Tsabit, 70-150 H), b. mazhab Maliki (pendirinya, Imam Malik Ibnu Anas, 90-179 H), c. mazhab Syafi’i (pendirinya, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris Ibnu Utsman Ibnu Syafi’I 150-204 H), dan d. mazhab Hambali (pendirinya, Ahmad Ibnu Hambal Ibnu Hilal Asy Syaibani Al Bagdadi, 164-241 H). Dengan perkataan lain firqoh mengenai masalah tauhid, sedang mazhab tentang fiqih.

B.     Pengertian Firqoh Qodariyah

Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H / 689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al Juhni Al Bisri dan Ja’ad Bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705M).

Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal ini karena sudah ditakdirkan Allah SWT dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka firqah Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan member pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Oleh karena itu, manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya (kholiqul af’al).

Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.

Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat :

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاء فَلْيَكْفُرْ
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).

Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan.

Ajaran-ajaran firqoh Qodariyah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad Al Juhni dan beberapa pengikutnya dan dia sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80H/690M). Setelah peristiwa ini, maka pengaruh faham Qadariyah semakin surut. Akan tetapi dengan munculnya firqoh Mu’tazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai penjelmaan kembali dari faham-faham Qadariyah. Sebab, antara keduanya terdapat kesamaan filsafatnya yang selanjutnya disebut dengan kaum Qadariyah Mu’tazilah.

Sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu berasal dari Allah, sedangkan perbuatan manusia yang jelek itu manusia sendiri yang membuatnya, tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah.

Sehubungan dengan pendapat-pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Dari Hudzaifah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Bagi tiap-tiap ummat ada Majusinya. Dan Majusi ummatku ini adalah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barang siapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kamu menshalati jenazahnya. Dan barang siapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kamu menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu”. (HR Abu dawud)

Mereka dikatakan Majusi karena mereka mengatakan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi atau Zaroaster adanya dewa terang, kebaikan dan siang, disebut Ahula Mazda dan dewwa keburuka, gelap dan malam, disebut Ahriman atau Angra Manyu.

Ma’bad Al Juhni adalah seolah tabi’in pernah belajar kepada Washil Bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh Al-Hajjaj, Gubernur Basrah karena ajaran-ajarannya. Gailan Ad Damasqi adalah penduduk kota Damaskus, ayahnya seorang yang pernah bekerja pada kholifah Utsman Bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik (105-125). Galian juga dihukum mati karena faham-fahamnya.

Ada pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran-ajaran Qadariyah itu bukan Ma’bad Al Juhni. Ada seorang penduduk negeri irak yang mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen lagi. Dari orang inilah Ma’bad Al Juhni dan Gailan Ad Damasqi mengambil pemikiran. Mereka sulit diketahui aliran-aliran. Karena mereka dalam segi tertentu mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah dan dalam segi yang lain mempunya kesamaan ajaran dengan Murji’ah, sehingga disebut juga Murji’ah Qadariyah. Tokoh-tokohnya: Abi Syamr, Ibnu Syahib, Gailan Ad Damasqi, dan Saleh Qubbah. Mereka ini memiliki batasan yang berbeda tentang iman.

C.    Pengertian Firqoh Jabariyah

Firqoh Jabariyah timbulnya besamaan dengan timbulnya firqoh Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqoh Qadariyah timbul di Irak, sedangkan Firqoh Jabariyah timbul di Khurasan Persia.

Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham bin Sofwan. Karena itu firqah ini kadang-kadang disebut Al-Jahamiyah. Mula-mula Jaham bin Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama.

Kaum Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Menurut mereka, bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah, dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat dan iradat Allah adalah membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakekatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula, sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga dan neraka.

Pembalasan surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan iradat-Nya.

Jaham bin Sofwan, selain penggerak gerakan Jabariyah, juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan: “bahwa Allah tidak diberi nama apapun, dan tidak pula diberi nama-nama lain kecuali Dia Maha Kuasa (al-Qadir)” karena menurutnya “tidak layak Tuhan itu disifati dengan sifat yang dipakai untuk mensifati makhluk-Nya”.

Adapun cikal bakal munculnya perkataan ini “pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah” berasal dari murid-murid kaum Yahudi dan musyrikin, termasuk kaum Shabi’in. Orang yang pertama kali mengucapkan perkataan ini adalah al-Ja’d bin Darhim. Kemudian diambil dan dipopulerkan oleh Jaham bin Sofwan, sehingga paham Jahamiyah dinisbatkan kepadanya. Al-Ja’d mengambil pernyataan tersebut dari Abban bin Sam’an. Abban sendiri mengambilnya dari Thalut bin Ukhti. Dan Thalut mengambilnya dari Lubaid bin Sam’an al-A’sham, seorang ahli sihir Yahudi. Selain itu Jaham bin Sofwan juga pernah mengatakan bahwa sesungguhnya iman itu cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran dalam hati), sekalipun tidak dinyatakan. Hal ini tidak sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lisan. Orang Islam yang pertama kali menyatakan paham ini di dalam Islam adalah al-Ja’d bin Darhim.

Terhadap al-Qur’an, Jaham bin Sofwan berpendapat, bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat. Sedangkan terhadap Allah ia berpendapat, bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak. Tentang surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya dan sudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.

Dalam pemahamannya, Jabariyah ini melampaui batas, sehingga mengiktikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakekatnya Allah pula. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang sembahyang maka Tuhan pula yang sembahyang. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak satupun terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.

Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Di sini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu bersatunya hamba dengan Dia. I’tiqad persatuan antara Khalik dan makhluk adalah i’tiqad yang keliru, karena Tuhan tidak serupa dengan sekalian yang ada dalam alam ini. Menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, manusia akan mendapatkan hukuman karena ikhtiar atau usahanya yang tidak baik dan akan diberi paham dengan karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang baik itu. Sesuai dengan firman-Nya :

لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. Al-Baqarah : 286)

Gerakan golongan ini mendapat tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan ulama-ulama diluar Jabariyah, yang menolak dan memberantasnya. Penolakan ini lebih-lebih ditandaskan kepada dua soal, yaitu:
a.       Pendirian Jabariyah, bahwa manusia itu tidak mempunyai ikhtiar sedikitpun. Ajaran dan pendirian ini tentulah akan menjadikan manusia malas dan putus asa, tidak mau bekerja. Bahkan akan berserah diri kepada Qadar saja. Keadaan semacam ini pasti mengakibatkan kemunduran umat Islam.
b.      Terhadap takwil yang berlebih-lebihan, mentakwilkan al-Qur’an yang mengandung sifat-sifat Allah. Dengan takwil ini berarti membatasi memahamkan al-Qur’an dari satu jurusan saja. Padahal makna dan tujuan al-Qur’an itu amat luas dan jauh lebih sempurna daripada yang ditakwilkan mereka itu.

Dalam segi-segi tertentu, Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat di akhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk dan lain-lain. Jaham bin Sofwan mati terbunuh oleh pasukan Bani Umayyah pada tahun 131 H.





PENUTUP


A.    Analisis

Qadariyah adalah faham yang menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dari manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Jabariyah adalah aliran yang berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.

Dari kedua faham tersebut, semuanya adanya faham-faham yang salah mengenai manusia dan Tuhan dalam menentukan suatu perbuatan baik buruk ataupun dosa atau tidak. Karena pada hakekatnya manusia diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya Allah lah yang menentukan hasilnya. Sesuai dengan ajaran-ajaran ahlussunnah wal Jama’ah, yang menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal pikiran.

B.     Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran Qadariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat (kholiqul af’al), sedangkan Jabariyah adalah aliran yang menyebarkan faham bahwa Tuhanlah yang berkuasa dan manusia tidak mempunyai daya apapun. Dan keduanya adalah ajaran yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar