SELAMAT DATANG

JL. MANUNGGAL VII KP. MASENG RT.01 RW.08 NO. 18 DESA WARUNGMENTENG KECAMATAN CIJERUK KABUPATEN BOGOR 16740 PROVINSI JAWA BARAT

Rabu, 27 November 2013

Tugas UTS MSI

TUGAS UTS
­METODOLOGI STUDI ISLAM (MSI)
Dosen : Maulana, M.SI

Nama Mahasiswa        : Zahid Ali Hamdi
Semester                      : 1

A.    Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metodos” berarti “cara” atau “jalan”, dan logos yang berarti “ilmu”. Metode adalah urutan kerja yang sistematis, terencana dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya dalam diktat metode-metode filsafat, A.H. Bakker memberikan definisi tentang metodologi sebagai berikut :
“Metodolodi dapat difahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum yang hakiki bagi segala pengertian, jadi berlaku pula bagi semua ilmu”.
Metodologi berkaitan dengan filsafat keilmuan. Filsafat keilmuan mencakup pertanyaan-pertanyaanyang harus kita jawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, begeimana membengun ilmu yang tepat dan benar, apakah kebenarag itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasnya.

B.     Metodologi Studi Islam Menurut Para Ahli
Studi Islam (Islamic Studies) adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Studi Islam mulai dikembangkan oleh Mukti Ali pada akhir dekade tahun 70-an. Kajian masih bersifat stadium awal, terfokus pada persoalan praktis menyangkut penataan, pembinaan dan pengembangan hubungan antar pemeluk agama-agama di Indonesia. Memasuki dasawarsa tahun 80-an, studi agama memasuki fase baru yang segar dimana mulai muncul kajian-kajian yang secara tematik lebih variatif dan secara kualitattif lebih intensif. Situasi ini disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan, teknologi komunikasi dan transportasi, yang secara langsung membantu perkembangan internal kajian agama.
Islam sebagai agama ajaran-ajaran tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti  ekonomi, social, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal  telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis cultural. Perkembangan tersebut dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek social keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama an sich, dan wilayah-wilayah social dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri, menjadi tidak jelas.
Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Noeng Muhadjir, menawarkan 3 model bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman yaitu, model postulasi; model pengembangan multidisipliner dan interdisipliner; dan model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik.
Pertama, model postulasi yaitu bangunan pokok model ini deduksi. Diberangkatkan dari model idealisasi. Model islamisasi ilmu pengetahuan dapat masuk kedalam konsep idealisasi transcendental. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara priority atau spekulatif; dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian empirik atau lewat berfikir ferlektif.
Kedua, model pengembangan multidispliner dan interdisipliner, yaitu yang dimaksud dengan multidisipliner adalah cara bekerjanya seorang ahli disuatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin ilmu lain. Sedangkan interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari berbagai keahlian untuk menghasilkan sebuah teori bersama.
Ketiga, model pengembangan ferlektif-konseptual-tentatif-problematik. Model ini dapat bergerak merentang dari konsep idealisasi teoritik, moralistic, dan transcendental secara ferlektif.
Dalam tulisan yang berjudul “Epistemologi di dalam islam” S.I. Poeradisastra menyatakan, epistemology di dalam Islam berjalan dari tingkat-tingkat: (a) perenungan tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an, (b) Pengindraan (c) Penyerapan (d) Penyajian (e) Konsep (f) Timbangan dan (g) penalaran.
Fazlur Rahman sering menyebutkan dua istilah metodik dalam buku-bukunya, yakni historic-critical method dan hermeneutic method. Historical-critical method (metode kritis sejarah) merupakan sebuah pendekatan kesejarakan pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya.
Metode yang kedua yang digunakan Rahman adalah metode Hermeneutic, yaitu metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti teks kitab suci, sejarah, hukum, juga dalam bidang filsafat. Ada dua tugas hermeneutik yang pada dasarnya identik satu sama lainnya, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis.
Dikalangan para ahli masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi kagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
dengan demikian secara sederhana dapat dekemukakan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat di dalam Alquran dan hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analisistis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak romantis, apologis, dan subjektif. sedangkan jika dilihat dari segi historisnya yakni islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika islam dilihat dari sudur normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan dengan urusan akidah dan muamalah sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Dalam buku yang berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syari'ati, dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak.
Untuk memahami islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengajukan empat cara. :
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alquran dan Al-Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya megenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Alquran dan Al-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber-sumber kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khurafat, yakni telah tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, dari ajaran Islam yang murni.
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara. sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
Ketiga, Islam perlu dipelajar dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar.
Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Alquran, baru kemudia dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam Alquran dengan Islam yang ada pada dataran historis, sosiologis, dan empiris.
Harun Nasution menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu :1) unsur kekuatan gaib yang dapat mengambil bentuk Dewa, Tuhan, dan sebagainya; 2) unsur keyakinan manusia bahwa kesejahterahannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat nanti amat tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud; 3) unsur respond yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta, dan sebagainya; dan 4) unsur pahan adanya yang kudus (sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib.
Hingga sekarang umat Islam Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa Islam, agama yang bersifat sempit. Anggapan ini timbul karena salah dalam mengartikan hakikat Islam. Kekeliruan itu terjadi karena pengajian tadi, dan kurikulum pendidikan hanya menekankan pada aspek ibadah, tauhid, Alquran, Sunnah. Itupun mengajarkannya hanya menurut satu madzhab dan aliran saja, jadi identik dengan pengajian Islam.
Sebetulnya ada juga orang yang pengetahuannya cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tersusun secara sistematis. Hal yang demikian menurut Abudin Nata karena orang yang bersangkutan ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan terkoordinasi. Biasanya mereka belajar ilmu dari berbagai guru, namun antara satu guru dengan guru lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak memiliki satu acuan yang sama semacam kurikulum, akibatnya tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan yang dipelajarinya.
Pentingnya metodologi juga digambarkan oleh Abuy Sodikin : Pertama, sebagaimana gagasan awal lahirnya bidang studi Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam untuk mengupayakan cara yang cepat dan tepat dalam mempelajari Islam. Kedua, usaha untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah dan warisan intelektual dari masa lalu sampai sekarang. Dalam istilah Nurcholish Madjid agar dapat menjawab tantangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kemampuan menjawab tantangan ini, banyak tergantung kepada pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengan pola pikir ilmiah yang islami. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan metodologis dalam melakukan studi tentang Islam dalam berbagai dimensinya itu agar sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Ketiga, ajaran Islam sendiri menuntut dipelajari dan dipahami melalui prosedur yang tepat, yaitu memahami ruang lingkup dan isinya.
Masih berkaitan dengan signifikasi metodologi studi Islam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok menyimpulkan bahwa umat Islam masih didominasi oleh pandangan yang eklusivisme. Suatu pandangan yang menganggap bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama atau madzhab aliran yang dianutnya, agama atau madzhab lain sebagai sesat dan perlu dijauhi bahkan dimusnahkan. Selanjutnya menurut Atang sikap eklusivisme dipandang wajar karena kalangan umat Islam Indonesia dulu dalam studi Islam tidak sistematis, tidak komprehensif alias tanpa metodologi yang tepat. Tapi apapun penyebabnya perlu ditekankan pentingnya merubah pandangan yang ekstrim dengan pandangan yang bijaksana dan memancarkan rahmat bagi semua. Tentu saja dimulai dari perubahan format dalam studi Islam.
Selanjutnya Atang mengutip pendapat Harun Nasution yang berpendapat bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari segi etika dan moralitasnya kurang memadai. Senada dengan hal itu, Masdar F. Masudi berpendapat bahwa kesalahan umat Islam Indonesia ialah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal budi. Sehingga orang terperangah ketika ada hasil survei mengungkapkan Indonesia termasuk salah satu negara korup di dunia. Sedangkan 90 persen penduduk Indonesia muslim dan pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar Islam.
Selanjutnya Atang mengatakan signifikasi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keilmuan masyarakat muslim Indonesia sehingga:
a.       Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif.
b.      Sikap eklusivisme dirubah menjadi sikap inklusifisme dan atau sikap universalisme.
c.       Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam masyarakat yang heterogen.
Ilmu-ilmu Islam, atau dalam bahasa Al-Gazali disebut dengan al-ulum al-syari’ah merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal. Menurut Al-Gazali, ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a.      Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu ushul), yakni:
1.      Ilmu tentang keesaan Ilahi (ilmu tauhid)
2.      Ilmu tentang kenabian. Ilmu ini juga berkaitan dengan ihwal para Sahabat serta penerus religious dan spiritualnya
3.      Ilmu tentang akhirat dan eskatologis
4.      Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Sumber pengetahuan ini ada dua, yakni sumber primer: Al-Qur’an dan Sunnah; dan sumber sekunder, yakni ijma’ dan tradisi para sahabat.
b.      Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang, yaitu:
1.      Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
2.      Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat. Ilmu-ilmu ini terdiri dari: (a) ilmu tentang transaksi, trutama transaksi bisnis dan keuangan, serta hukum qishash; (b) ilmu tentang kewajiban kontraktual. Ilmu ini berhubungan trutama dengan hukum keluarga.
3.      Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri. Ilmu ini membahas kualitas-kualitas moral (ilmu akhlaq).
Menurut Al-Syirazi, ilmu-ilmu agama ini dikategorikan dalam ilmu-ilmu nonfilsafat (al-ulum ghoiru hikmy). Ilmu-ilmu religius diklasifikasikan menurut dua cara berbeda: (1) klasifikasi dalam ilmu-ilmu (naqliy) dan ilmu-ilmu intelektual (aqliy); (2) klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (ushul) dan ilmu tentang cabang-cabang (furu’).

C.    Tujuan dan Manfaat Mempelajari MSI
Tujuan mempelajarai MSI:
Studi Islam, sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam tentang Islam dan segala seluk-beluk yang berhubungan dengan agama Islam, sudah tentu mempunyai tujuan yang jelas, yang sekaligus menunjukan kemana studi Islam tersebut diarahkan.
Adapun arah dan tujuan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agama Islam itu.
2)      Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama islam yang asli.
3)      Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama islam yang tetap abadi dan dinamis.
4)      Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam.

Adapun Manfaat Mempelajari MSI adalah:
1)      Dengan mempelajari Metodologi Studi Islam akan memberikan ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran Islam klasik.
2)      Mengimbangi alur pemikiran kegamaan yang seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir pengamatan social keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan umat.

D.    Kekuasaan Allah
Timbul pertanyaan, mengapa Allah yang Maha Kuasa dan Maha Segalanya menciptakan Malaikat dan Manusia?
Hal ini sudah Allah jelaskan secara jelas dalam Kalam Allah yaitu Al-Qur’an bahwa Allah itu tunggal, lebih jelasnya diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas : 1

[ayat Al-Qur'an]

Artinya:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.”

Inilah kaidah awal dalam ke-Maha Esaan Allah (tawhid). Ayat ini tidak menyebutkan: Allah Wahid. Ini menyebutkan bahwa Dia (Allah) adalah tunggal dan mengarah pada pengkhususan bahwa Dia benar-benar Maha Esa (Al-Ahad). Kata Al-Ahad berarti tetap Maha Esa sejak zaman azali dan tidak ada pendamping di sisi-Nya. Kemudian, Dia menciptakan seluruh makhluk. Masing-masing makhluk itu saling membutuhkan dan berhubungan satu sama lain. Allah tidak akan pernah membutuhkan makhlik-makhluk ciptaan-Nya. Tidak ada yang menentang-Nya. Tetapi, Dia lebih awal dari segala sesuatu, tunggal, dan tidak ada sesuatu pun sebelumnya. Kata Al-Ahad adalah kata sempurna dari Al-Wahid.
Dari penjelasan diatas, telah kita ketahui bahwa Allah tidak membutuhkan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Adapun mengapa Allah menciptakan makhluk-makhlukNya adalah, penulis menjelaskan dengan beberapa poin penjelasan singkat.
Pertama, tujuan Allah menciptakan Jin dan Manusia telah Allah jelaskan pula dalam Q.S. Az-Zariyah : 56

[ayat Al-Qur'an]

Artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dari ayat di atas dijelaskan bahwa yang dimaksud beribadah disini adalah yakin mentauhidkan (mengesakan) dalam ibadah. Adapun ibadah artinya sekumpulan nama bagi setiap apa-apa yang dicintai Allah SWT., dan diridhoi-Nya, baik ucapan maupun perbuatan, baik yang Nampak maupun yang tersembunyi. Allah SWT juga mengebarkan bahwa Dialah yang menciptakan Jin dan Manusia. Dan bahwasanya hikmah dari penciptaan mereka adalah untuk mengesakan-Nya dengan ibadah dan mengingkari peribadatan kepada selain-Nya. Dan sesungguhnya diciptakannya mereka hanya untuk ibadah kepada Allah.
Kedua, Allah juga menjelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah : 30

[ayat Al-Qur'an]

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Dan dari ayat diatas sudah sangat jelas bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di Bumi ini. Manusia adalah makhluk yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan kewajiban memakmurkannya sebagai amanah dari Allah SWT berdasarkan firman Allah SWT pada Q.S. Al-An’am : 165

[ayat Al-Qur'an]

Artinya:
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Manusia adalah makhluk tuhan yang tertinggi untuk mengokohkan ketinggian martabat manusia dalam rangka memenuhi fungsi sebagai khalifah Allah di Bumi. Ajaran Islam menegaskan perlunya kesatuan ilmu dan agama. Urgensi dan hal tersebut sangat korelatif dengan eksistensi manusia sebagai khalifah fi al ardi. Dalam mengemban fungsi kekhalifahannya, manusia mudah membutuhkan ilmu, kesucian dan etika serta keterampilan karena hal ini sehingga materi pendidikan yang disampaikan oleh tuhan melalui syariat-Nya hampir selalu mengarah kepada jiwa, akal dan raga manusia.
Akhirnya dalam hubungan manusia dengan agama, maka agama menjadi sumber paling tinggi bagi manusia, sebab yang digarap oleh agama adalah hal yang mendasar buat kehidupan manusia yaitu akhlak kemudian kehidupannya dengan kekuatan ruh, tauhid dan ibadah kepada Allah SWT, sebagai kewajiban dan tujuan hidup dari perputaran sejarah manusia di dunia.
Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Allah SWT Maha Segala-galanya yang dalam kaitan dengan pembahasan ini Allah tidak membutuhkan makhluk-makhlukNya. Adapun mengapa Allah menciptakan dari kalangan JIN dan MANUSIA semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah dan sebagai tujuan Allah menciptakan manusia khususnya adalah sebagai khalifak di Bumi ini untuk mengurus semua bumi dan seisinya. Dan dari kesemua itu dari mulai Allah menciptakan dunia ini, proses penciptaan Jin dan Manusia serta dengan yang lainnya, sudah termasuk bagian dari SUNNATULLAH.


=== Terima Kasih ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar