TUGAS
UTS
METODOLOGI
STUDI ISLAM (MSI)
Dosen :
Maulana, M.SI
Nama Mahasiswa : Zahid Ali Hamdi
Semester : 1
A.
Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metodos”
berarti “cara” atau “jalan”, dan logos yang berarti “ilmu”.
Metode adalah urutan kerja yang sistematis, terencana dan merupakan hasil
eksperimen ilmiah guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya dalam
diktat metode-metode filsafat, A.H. Bakker memberikan definisi tentang
metodologi sebagai berikut :
“Metodolodi dapat difahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah sesuai
dengan hakikat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum yang
hakiki bagi segala pengertian, jadi berlaku pula bagi semua ilmu”.
Metodologi berkaitan dengan filsafat keilmuan. Filsafat keilmuan
mencakup pertanyaan-pertanyaanyang harus kita jawab; apakah ilmu itu, dari mana
asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, begeimana membengun ilmu yang tepat dan
benar, apakah kebenarag itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang
dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasnya.
B.
Metodologi Studi Islam Menurut Para Ahli
Studi Islam (Islamic Studies) adalah
salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri
secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat
studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk
dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah
mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Studi Islam mulai dikembangkan oleh Mukti
Ali pada akhir dekade tahun 70-an. Kajian masih bersifat stadium awal,
terfokus pada persoalan praktis menyangkut penataan, pembinaan dan pengembangan
hubungan antar pemeluk agama-agama di Indonesia. Memasuki dasawarsa tahun
80-an, studi agama memasuki fase baru yang segar dimana mulai muncul
kajian-kajian yang secara tematik lebih variatif dan secara kualitattif lebih
intensif. Situasi ini disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan, teknologi
komunikasi dan transportasi, yang secara langsung membantu perkembangan
internal kajian agama.
Islam sebagai agama ajaran-ajaran
tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula
berbagai persoalan seperti ekonomi, social, budaya, dan dimensi-dimensi
lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa
awal telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan
persoalan-persoalan historis cultural. Perkembangan tersebut dapat diamati dari
praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang
satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek social keagamaan,
sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama an sich, dan
wilayah-wilayah social dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri,
menjadi tidak jelas.
Studi Islam
adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas
secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
Studi Islam
diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam
yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat
dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam
pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi
semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Noeng Muhadjir, menawarkan 3 model bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman yaitu,
model postulasi; model pengembangan multidisipliner dan interdisipliner; dan model
pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik.
Pertama, model
postulasi yaitu bangunan pokok model ini deduksi. Diberangkatkan dari model
idealisasi. Model islamisasi ilmu pengetahuan dapat masuk kedalam konsep
idealisasi transcendental. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya
dirumuskan atau dibangun secara priority atau spekulatif; dan akan kuat bila dibangun
lewat penelitian empirik atau lewat berfikir ferlektif.
Kedua, model
pengembangan multidispliner dan interdisipliner, yaitu yang dimaksud dengan
multidisipliner adalah cara bekerjanya seorang ahli disuatu disiplin dan
berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli
disiplin ilmu lain. Sedangkan interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli
dari berbagai keahlian untuk menghasilkan sebuah teori bersama.
Ketiga, model pengembangan
ferlektif-konseptual-tentatif-problematik. Model ini dapat bergerak merentang
dari konsep idealisasi teoritik, moralistic, dan transcendental secara
ferlektif.
Dalam tulisan yang berjudul “Epistemologi di dalam islam” S.I.
Poeradisastra menyatakan, epistemology di dalam Islam berjalan dari
tingkat-tingkat: (a) perenungan tentang sunnatullah sebagaimana
dianjurkan dalam Al-Qur’an, (b) Pengindraan (c) Penyerapan (d)
Penyajian (e) Konsep (f) Timbangan dan (g) penalaran.
Fazlur Rahman
sering menyebutkan dua istilah metodik dalam buku-bukunya, yakni
historic-critical method dan hermeneutic method. Historical-critical method
(metode kritis sejarah) merupakan sebuah pendekatan kesejarakan pada prinsipnya
bertujuan menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai
(values) tertentu yang terkandung di dalamnya.
Metode yang kedua yang digunakan Rahman adalah metode Hermeneutic,
yaitu metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti teks kitab
suci, sejarah, hukum, juga dalam bidang filsafat. Ada dua tugas hermeneutik
yang pada dasarnya identik satu sama lainnya, yaitu interpretasi gramatikal dan
interpretasi psikologis.
Dikalangan para ahli
masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama)
dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan
karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Pada dataran
normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi kagamaan yang
bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau
naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan,
kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
dengan demikian
secara sederhana dapat dekemukakan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif
sebagaimana yang terdapat di dalam Alquran dan hadis, maka Islam lebih
merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya pradigma ilmu
pengetahuan, yaitu pradigma analisistis, kritis, metodologis, historis, dan
empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak romantis, apologis, dan
subjektif. sedangkan jika dilihat dari segi historisnya yakni islam dalam arti
yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah
kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan
dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika islam dilihat dari sudur normatif,
Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan dengan urusan akidah
dan muamalah sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau
sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic
Studies).
Dalam
buku yang berjudul Tentang “Sosiologi
Islam”, karya Ali Syari'ati, dijumpai uraian singkat mengenai
metode memahami yang pada intinya Islam harus dilihat dari berbagai dimensi.
Dalam hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut
pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang
bersegi banyak.
Untuk memahami islam
secara benar ini, Nasruddin Razak mengajukan empat cara. :
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alquran dan Al-Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya
megenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan
Alquran dan Al-Sunnah, atau melalui pengenalan
dari sumber-sumber kitab fiqih
dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Mempelajari Islam dengan cara
demikian akan menjadikan
orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan
khurafat, yakni telah tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, dari ajaran
Islam yang murni.
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial,
artinya dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak
secara. sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan,
menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
Ketiga, Islam perlu dipelajar dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama
besar.
Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada
dalam Alquran, baru kemudia dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan
sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat
kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada pada dataran normatif
teologis yang ada dalam Alquran dengan Islam yang ada pada dataran historis,
sosiologis, dan empiris.
Harun
Nasution
menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu :1)
unsur kekuatan gaib yang dapat mengambil bentuk Dewa, Tuhan, dan sebagainya; 2)
unsur keyakinan manusia bahwa kesejahterahannya di dunia ini dan hidupnya di
akhirat nanti amat tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib
yang dimaksud; 3) unsur respond yang bersifat emosional dari manusia
yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta, dan sebagainya; dan 4)
unsur pahan adanya yang kudus (sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk
kekuatan gaib.
Hingga sekarang umat Islam Indonesia masih banyak yang beranggapan
bahwa Islam, agama yang bersifat sempit. Anggapan ini timbul karena salah dalam
mengartikan hakikat Islam. Kekeliruan itu terjadi karena pengajian tadi, dan
kurikulum pendidikan hanya menekankan pada aspek ibadah, tauhid, Alquran,
Sunnah. Itupun mengajarkannya hanya menurut satu madzhab dan aliran saja, jadi identik
dengan pengajian Islam.
Sebetulnya ada juga orang yang pengetahuannya cukup luas dan
mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tersusun secara sistematis. Hal yang
demikian menurut Abudin Nata karena orang yang bersangkutan
ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan terkoordinasi. Biasanya
mereka belajar ilmu dari berbagai guru, namun antara satu guru dengan guru
lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak memiliki satu acuan yang sama
semacam kurikulum, akibatnya tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam
berbagai pengetahuan yang dipelajarinya.
Pentingnya metodologi juga digambarkan oleh Abuy Sodikin
: Pertama, sebagaimana gagasan awal lahirnya bidang studi
Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam untuk mengupayakan cara
yang cepat dan tepat dalam mempelajari Islam. Kedua, usaha
untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah dan warisan
intelektual dari masa lalu sampai sekarang. Dalam istilah Nurcholish Madjid
agar dapat menjawab tantangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alam. Kemampuan menjawab tantangan ini, banyak tergantung kepada
pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengan pola pikir
ilmiah yang islami. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan metodologis dalam
melakukan studi tentang Islam dalam berbagai dimensinya itu agar sesuai dengan
tantangan yang dihadapi. Ketiga, ajaran Islam sendiri menuntut
dipelajari dan dipahami melalui prosedur yang tepat, yaitu memahami ruang
lingkup dan isinya.
Masih berkaitan dengan signifikasi metodologi studi Islam Atang
Abdul Hakim dan Jaih Mubarok menyimpulkan bahwa umat
Islam masih didominasi oleh pandangan yang eklusivisme. Suatu pandangan yang
menganggap bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama atau madzhab aliran
yang dianutnya, agama atau madzhab lain sebagai sesat dan perlu dijauhi bahkan
dimusnahkan. Selanjutnya menurut Atang sikap eklusivisme
dipandang wajar karena kalangan umat Islam Indonesia dulu dalam studi Islam
tidak sistematis, tidak komprehensif alias tanpa metodologi yang tepat. Tapi
apapun penyebabnya perlu ditekankan pentingnya merubah pandangan yang ekstrim
dengan pandangan yang bijaksana dan memancarkan rahmat bagi semua. Tentu saja
dimulai dari perubahan format dalam studi Islam.
Selanjutnya Atang mengutip pendapat Harun
Nasution yang berpendapat bahwa persoalan yang menyangkut usaha
perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari segi etika dan
moralitasnya kurang memadai. Senada dengan hal itu, Masdar F. Masudi
berpendapat bahwa kesalahan umat Islam Indonesia ialah mengabaikan agama
sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia
sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal budi. Sehingga orang terperangah
ketika ada hasil survei mengungkapkan Indonesia termasuk salah satu negara
korup di dunia. Sedangkan 90 persen penduduk Indonesia muslim dan pejabatnya
rajin merayakan hari-hari besar Islam.
Selanjutnya Atang mengatakan signifikasi studi Islam
di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keilmuan masyarakat
muslim Indonesia sehingga:
a.
Bentuk
formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif.
b.
Sikap
eklusivisme dirubah menjadi sikap inklusifisme dan atau sikap universalisme.
c.
Melahirkan
suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam masyarakat yang heterogen.
Ilmu-ilmu Islam,
atau dalam bahasa Al-Gazali disebut dengan al-ulum al-syari’ah
merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal.
Menurut Al-Gazali, ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a.
Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu
ushul), yakni:
1. Ilmu tentang keesaan Ilahi (ilmu tauhid)
2. Ilmu tentang kenabian. Ilmu ini juga berkaitan
dengan ihwal para Sahabat serta penerus religious dan spiritualnya
3. Ilmu tentang akhirat dan eskatologis
4. Ilmu tentang sumber pengetahuan religius.
Sumber pengetahuan ini ada dua, yakni sumber primer: Al-Qur’an dan Sunnah; dan
sumber sekunder, yakni ijma’ dan tradisi para sahabat.
b.
Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip
cabang, yaitu:
1. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan
(ibadah)
2. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada
masyarakat. Ilmu-ilmu ini terdiri dari: (a) ilmu tentang
transaksi, trutama transaksi bisnis dan keuangan, serta hukum qishash; (b)
ilmu tentang kewajiban kontraktual. Ilmu ini berhubungan trutama dengan hukum
keluarga.
3. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya
sendiri. Ilmu ini membahas kualitas-kualitas moral (ilmu akhlaq).
Menurut Al-Syirazi,
ilmu-ilmu agama ini dikategorikan dalam ilmu-ilmu nonfilsafat (al-ulum
ghoiru hikmy). Ilmu-ilmu religius diklasifikasikan menurut dua cara
berbeda: (1) klasifikasi dalam ilmu-ilmu (naqliy) dan ilmu-ilmu
intelektual (aqliy); (2) klasifikasi dalam ilmu tentang
pokok-pokok (ushul) dan ilmu tentang cabang-cabang (furu’).
C.
Tujuan dan Manfaat Mempelajari MSI
Tujuan
mempelajarai MSI:
Studi Islam, sebagai usaha untuk mempelajari secara mendalam
tentang Islam dan segala seluk-beluk yang berhubungan dengan agama Islam, sudah
tentu mempunyai tujuan yang jelas, yang sekaligus menunjukan kemana studi Islam
tersebut diarahkan.
Adapun arah dan tujuan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Untuk
mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agama Islam itu.
2)
Untuk
mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama islam yang asli.
3)
Untuk
mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama islam yang tetap abadi
dan dinamis.
4)
Untuk
mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama
Islam.
Adapun
Manfaat Mempelajari MSI adalah:
1)
Dengan
mempelajari Metodologi Studi Islam akan memberikan ruang dalam pemikiran yang
lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran
Islam klasik.
2)
Mengimbangi
alur pemikiran kegamaan yang seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan
yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir pengamatan social keagamaan
sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan umat.
D.
Kekuasaan Allah
Timbul pertanyaan, mengapa Allah yang Maha Kuasa dan Maha Segalanya
menciptakan Malaikat dan Manusia?
Hal ini sudah
Allah jelaskan secara jelas dalam Kalam Allah yaitu Al-Qur’an bahwa Allah itu tunggal,
lebih jelasnya diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas : 1
[ayat Al-Qur'an]
[ayat Al-Qur'an]
Artinya:
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa.”
Inilah kaidah awal dalam ke-Maha Esaan Allah (tawhid). Ayat
ini tidak menyebutkan: Allah Wahid. Ini menyebutkan bahwa Dia (Allah)
adalah tunggal dan mengarah pada pengkhususan bahwa Dia benar-benar Maha Esa (Al-Ahad).
Kata Al-Ahad berarti tetap Maha Esa sejak zaman azali dan tidak ada pendamping
di sisi-Nya. Kemudian, Dia menciptakan seluruh makhluk. Masing-masing makhluk
itu saling membutuhkan dan berhubungan satu sama lain. Allah tidak akan pernah
membutuhkan makhlik-makhluk ciptaan-Nya. Tidak ada yang menentang-Nya. Tetapi,
Dia lebih awal dari segala sesuatu, tunggal, dan tidak ada sesuatu pun
sebelumnya. Kata Al-Ahad adalah kata sempurna dari Al-Wahid.
Dari penjelasan diatas, telah kita ketahui bahwa Allah tidak
membutuhkan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Adapun mengapa Allah menciptakan
makhluk-makhlukNya adalah, penulis menjelaskan dengan beberapa poin penjelasan
singkat.
Pertama, tujuan Allah
menciptakan Jin dan Manusia telah Allah jelaskan pula dalam Q.S. Az-Zariyah : 56
[ayat Al-Qur'an]
[ayat Al-Qur'an]
Artinya:
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa yang dimaksud beribadah disini
adalah yakin mentauhidkan (mengesakan) dalam ibadah. Adapun ibadah artinya
sekumpulan nama bagi setiap apa-apa yang dicintai Allah SWT., dan diridhoi-Nya,
baik ucapan maupun perbuatan, baik yang Nampak maupun yang tersembunyi. Allah
SWT juga mengebarkan bahwa Dialah yang menciptakan Jin dan Manusia. Dan
bahwasanya hikmah dari penciptaan mereka adalah untuk mengesakan-Nya dengan
ibadah dan mengingkari peribadatan kepada selain-Nya. Dan sesungguhnya
diciptakannya mereka hanya untuk ibadah kepada Allah.
Kedua, Allah juga menjelaskan
dalam Q.S. Al-Baqarah : 30
[ayat Al-Qur'an]
Artinya:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan dari ayat diatas sudah sangat jelas bahwa Allah SWT menciptakan
manusia sebagai khalifah di Bumi ini. Manusia adalah makhluk yang bertugas
mengurus bumi dengan seluruh isinya dan kewajiban memakmurkannya sebagai amanah
dari Allah SWT berdasarkan firman Allah SWT pada Q.S. Al-An’am : 165
[ayat Al-Qur'an]
[ayat Al-Qur'an]
Artinya:
“Dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Manusia adalah makhluk tuhan yang tertinggi untuk mengokohkan
ketinggian martabat manusia dalam rangka memenuhi fungsi sebagai khalifah Allah
di Bumi. Ajaran Islam menegaskan perlunya kesatuan ilmu dan agama. Urgensi dan
hal tersebut sangat korelatif dengan eksistensi manusia sebagai khalifah fi
al ardi. Dalam mengemban fungsi kekhalifahannya, manusia mudah membutuhkan
ilmu, kesucian dan etika serta keterampilan karena hal ini sehingga materi
pendidikan yang disampaikan oleh tuhan melalui syariat-Nya hampir selalu
mengarah kepada jiwa, akal dan raga manusia.
Akhirnya dalam hubungan manusia dengan agama, maka agama menjadi
sumber paling tinggi bagi manusia, sebab yang digarap oleh agama adalah hal
yang mendasar buat kehidupan manusia yaitu akhlak kemudian kehidupannya dengan
kekuatan ruh, tauhid dan ibadah kepada Allah SWT, sebagai kewajiban dan tujuan
hidup dari perputaran sejarah manusia di dunia.
Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Allah SWT Maha
Segala-galanya yang dalam kaitan dengan pembahasan ini Allah tidak membutuhkan
makhluk-makhlukNya. Adapun mengapa Allah menciptakan dari kalangan JIN dan
MANUSIA semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah dan sebagai tujuan Allah
menciptakan manusia khususnya adalah sebagai khalifak di Bumi ini untuk
mengurus semua bumi dan seisinya. Dan dari kesemua itu dari mulai Allah
menciptakan dunia ini, proses penciptaan Jin dan Manusia serta dengan yang
lainnya, sudah termasuk bagian dari SUNNATULLAH.
=== Terima
Kasih ===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar